Friday, January 29, 2010

MENGAPA PERLU ADANYA ADVOKASI PAKET UU POLITIK?




By: Maryam Fithriati (Bid. Advokasi, Hukum dan Politik PP. Fatayat NU) Minimnya keterwakilan perempuan dalam jabatan publik dan politik membawa dampak masalah dan kepentingan perempuan tidak menjadi isu prioritas dalam proses pembangunan dan kebijakan. Bahkan, berdasarkan pada realita banyak ketimpangan-ketimpangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang selama ini tidak berpihak pada perempuan. Kurang terwakilinya perempuan dalam bidang politik dikarenakan konstruksi sistem (struktur dan peran institusi, substansi dan dampak suatu kebijakan publik), dan kultur (nilai, dogma, kebiasaan) yang tidak berpihak pada perempuan. Tingkat representasi perempuan yang rendah menjadi alasan adanya pelanggaran tehadap hak-hak asasi fundamental perempuan.


Tingkat representasi yang tidak setara dalam badan legislatif mengartikan bahwa representasi perempuan, yang seharusnya menjadi suatu fungsi dari demokratisasi, ternyata lebih berfungsi untuk mempertahankan status quo. Tentu saja hal ini akan berakibat pada sulitnya pencapaian tiga strategi peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan, yaitu melalui pengentasan kemiskinan (anti poverty), pendekatan efisiensi serta pendekatan pemberdayaan (empowerment), yang telah dirumuskan dengan program Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD). Beberapa dampak yang dialami perempuan karena tidak dilibatkannya perempuan dalam proses pembangunan dan pengambilan kebijakan, misalnya, dalam posisi struktur politik, hanya sedikit wakil perempuan yang duduk sebagai pengambil kebijakan (legislatif, maupun eksekutif) dan lembaga penegakan hukum baik di tingkat nasional maupun lokal. Kondisi ini berpengaruh terhadap sulitnya peningkatan akses perlindungan dan kesejahteraan untuk perempuan. Berdasarkan hasil pemilu 2004, dari 550 kursi di DPR RI perempuan memperoleh 61 kursi, atau hanya sekitar 11 persen dari total anggota DPR. Prosentase ini hanya meningkat sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan di DPR periode sebelumnya, tahun 1999 – 2004, perempuan hanya memperoleh 9,6 persen atau 48 orang perempuan dari 500 kursi di DPR. Dilihat dari keterwakilan, jumlah perempuan di lembaga legislatif tentu saja tidak cukup untuk merepresentasikan kepentingan perempuan. Karenanya tidak mengherankan jika keputusan yang dihasilkan oleh parlemen seringkali lebih banyak mendomestikasikan peran-peran perempuan, sangat maskulin serta kurang mempertimbangkan kepentingan perempuan. Dalam posisi Internasional, menurut data Inter-Parlementary Union (IPU) per 31 Juli 2007 tentang tingkat keterwakilan perempuan dalam parlemen, dijelaskan bahwa dari 179 negara Indonesia berada dalam urutan ke 88. Meskipun secara prosentase angka keterwakilan perempuan meningkat tetapi peningkatan juga dialami oleh negara-negara lain, sehingga posisi Indonesia menurun 5 tingkat dari sebelumnya. Bahkan, Indonesia termasuk dalam kategori salah satu dari 80 negara di mana keterwakilan perempuan berkisar antara 0 – 11%. Untuk tingkat Asia, tingkat keterwakilan perempuan Indonesia dalam parlemen lebih rendah dibandingkan dengan China (20.3%) dan Filipina (22.5%). Serta jauh tertinggal dibanding dengan Singapura (24.5%), Laos (25.2%) dan Vietnam (25.8%). Dengan meningkatnya jumlah representasi perempuan posisi Indonesia meningkat berada di atas Malaysia dan Thailand. Data di bawah ini menjelaskan posisi Indonesia di antara Negara-negara Asia Tenggara.


No comments:

Post a Comment