Wednesday, March 31, 2010

KH Sahal dan KH Said Aqil Pimpin NU




suksesnya Muktamar NU ke 32 di makassar dengan Terpilihnya kembali KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan KH Said Aqil Siradj sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU periode 2010-2015 menunjukkan masih terpeliharanya tradisi demokrasi ala ulama ahlussunnah wal jamaah.

Khususnya posisi rais aam, senioritas keulamaan, baik dari sisi keilmuan, wawasan, maupun usia, tetap menjadi pertimbangan pilihan peserta muktamar untuk memilih pimpinan tertinggi NU. Sementara posisi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU yang ditempati KH Said Aqil Siradj menunjukkan figur ulama masih dipilih warga NU untuk memimpin organisasi itu dibandingkan dengan sosok politisi.


Sahal dan Said terpilih sebagai pimpinan NU yang baru dalam Sidang Pleno Pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU yang dipimpin Ketua Pengurus Wilayah NU Sulawesi Selatan Zein Irwanto dalam Muktamar Ke-32 NU di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sabtu (27/3) sejak pagi hingga malam.

Sahal menang secara aklamasi setelah kandidat rais aam lainnya, KH A Hasyim Muzadi, tidak bersedia dicalonkan. Sedangkan Said mengalahkan rival terberatnya, Slamet Effendy Yusuf.

Terpilihnya Sahal dan Said juga pertanda masih kuatnya ulama NU memegang tradisi keulamaan. Sebelum pemilihan dimulai, berbagai intrik, isu politik uang, dan kampanye hitam terkait pencalonan beredar di antara peserta muktamar. Propaganda untuk memenangkan calon tertentu tidak mampu mengalahkan penghormatan dan penghargaan ulama-ulama NU terhadap seniornya.

”Demokrasi ada di NU, tetapi tradisi ulama juga tetap dipertahankan,” kata Ali Maschan Moesa, salah satu kandidat ketua umum PBNU yang juga mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur.

Pemilihan diawali dengan penjaringan nama-nama calon rais aam sesuai usulan setiap pengurus wilayah dan pengurus cabang NU. Dari 503 pengurus yang memiliki hak suara, terdapat dua pengurus yang tidak menggunakan haknya.

Hasilnya, terjaring 14 nama calon rais aam. Sesuai tata tertib muktamar, nama-nama yang diajukan peserta dapat ditetapkan sebagai calon rais aam bila memperoleh dukungan minimal 99 suara. Calon yang memperoleh dukungan minimal itu adalah Sahal dengan 272 suara dan Hasyim dengan 180 suara.

Sesaat setelah ditetapkan sebagai calon rais aam, Hasyim mengajukan surat kepada panitia. Isi surat yang dibacakan oleh Zein Irwanto itu menyatakan Hasyim tidak bersedia dicalonkan sebagai rais aam.

Sikap Hasyim itu sempat membuat sejumlah pendukungnya histeris dan kecewa. Namun, banyak pula yang memuji sikap besar Hasyim itu demi menjaga kehormatan ulama.

Karena Hasyim mundur, calon rais aam yang berhak tinggal Sahal. Sesuai aturan, jika hanya ada satu calon, ia langsung ditetapkan sebagai rais aam secara aklamasi.

Slamet Effendy mengatakan, mundurnya Hasyim merupakan langkah positif untuk memelihara tradisi keulamaan. Tradisi demokrasi khas Islam ahlussunnah wal jamaah atau paham Islam moderat selalu mempersilakan orang lain yang dinilai lebih ”mampu” menjadi pemimpin.

”Jabatan itu bukan diminta, tetapi saling mempersilakan,” ungkapnya.

Dalam perkembangan lain, terpilihnya Said berlangsung dalam satu kali pemilihan. Dari penjaringan nama-nama calon ketua umum, terdapat 10 nama. Namun, yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai calon ketua umum dengan mengantongi 99 dukungan suara hanya Said dengan 178 suara dan Slamet Effendy 158 suara. Kandidat yang tak lolos adalah KH Salahuddin Wahid (83 suara), Ahmad Bagdja (34), Ulil Abshar Abdalla (22), KH Ali Maschan Moesa (8), dan KH Masdar F Mas’udi (6).

Dalam pemilihan dengan dua kandidat itu, Said akhirnya terpilih dengan 294 suara, mengungguli Slamet Effendy dengan 201 suara.

Sebelum penghitungan selesai dilakukan, saat perolehan Said sudah mencapai separuh dari total suara yang diperebutkan, sorak pendukung Said langsung menggema. Slamet langsung menyalami Said sebagai ucapan selamat.

Khitah NU

Seusai terpilih, Sahal menegaskan, dia akan memaksimalkan pelaksanaan khitah NU dibandingkan dengan dua periode kepemimpinannya sebelumnya.

Sementara itu, Said Aqil Siradj mengatakan, ”Saya tak akan menarik NU dalam politik praktis, siapa pun yang mengajak saya. Bagi saya, menjadi Ketua Umum PBNU sudah di atas segalanya.” [ data diambil dari harian kompas ]


Read More......

Friday, March 26, 2010

Ketum Fatayat NU: Perempuan Islam Harus Mampu Berfikir Kritis




Rancangan Undang-Undang (RUU) Paket Parpol sudah disahkan menjadi undang-undang. Namun, undang-undang tersebut masih dianggap belum mengakomodir kepentingan kaum perempuan. Karena itu, organisasi perempuan Islam yakni Fatayat NU, Nasyiatul Aisyah, dan Pemudi Persis menuntut pelaksanaan UU berpihak kepada kaum hawa.

"Sangat jelas sekali UU ini memang suka tidak suka, mau tidak mau, sudah disahkan. Tapi kita sebagai perempuan yang berasal dari tiga ormas Islam besar, pastilah memiliki kader yang mampu, yang tidak kalah, kita juga berupaya mengambil posisi strategis sebagai pengambil keputusan, "tegas Ketua Umum Fatayat NU Maria Ulfa Anshor acara dialog publik Sosialisasi UU Paket politik bersama forum kajian muslimah, di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (18/12).

Menurutnya, isu besar yang terkait dengan perempuan sejak pemilu 2004 yaitu angka kematian ibu, angka kematian bayi, gizi buruk dan pendidikan wanita, masih relevan untuk diangkat kembali pada 2009, sebab jumlah belum mengalami penurunan.

"Untuk meningkatkan kemajuan, dan kapasitas kaum perempuan, diperlukan masukan dan pemikiran yang kritis, "ujarnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Kajian Politik UI Ani Soetjipto menambahkan, saat ini para aktivis wanita harus dapat merumuskan bagaimana mereka berjuang untuk menyalurkan gagasan-gagasan kritis mereka.

"Apa kita mau berjuang melalui mekanisme internal partai bagi yang menjadi temuan parpol. Atau lewat peraturan pemerintah yang merupakan aturan turunan dari UU parpol, yang nanti akan dibentuk beberapa PP, atau berjuang lewat advokasi gerakan masyarakat sipil, " jelas Ani.

Ani menyatakan, ada tiga isu besar yang akan diusung. Pertama, keterwakilan kelompok marginal dan minoritas, kedua tentang demokrasi internal perpol, ketiga good goverment dalam parpol tentang transparansi akuntabilitas keuangan parpol dan rekrutmen. Yang ketiganya, menjadi agenda besar kelompok masyarakat sipil dan perempuan. (novel)[data diambil dariera muslimmedia]

Read More......

BAHTSUL MASAIL Fatayat NU: Khitan Perempuan itu Tradisi, Bukan Perintah Agama




Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama mengirimkan delegasi khusus dalam bahtsul masail Pra-Muktamar NU di Cirebon, 29-31 Januari lalu, untuk menyampaikan usulan dalam pembahasan komisi diniyah waqiiyah, terutama menyangkut pembahasan soal khitan perempuan. Ketua Umum PP Fatayat NU Maria Ulfa Ansor ikut dalam delegasai ini.

Selain mengirimkan delegasi, PP Fatayat NU juga menyampaikan rumusan draf materi masail diniyah waqi’iyyah khusus tentang khitan perempuan ini. Salah satu kesimpulan yang diajukan dalam makalah setebal 15 halaman menyatakan bahwa khitan bagi perempuan hanyalah tradisi, bukan perintah agama.

Dinyatakan, jika khitan mempunyai manfaat maka tradisi ini dapat dilanjutkan apabila tidak ada manfaatnya dapat dihentikan tanpa adanya ancaman syar’i bagi yang meninggalkannya ataupun pujian syar’i bagi yang melakukannya.

Khitan untuk laki-laki diwajibkan karena menyebabkan tidak sah shalatnya dikarenakan ada indikasi tersimpannya najis yang berada di kemaluannya yang belum dipotong.

“Walaupun najis yang berada di kemaluan laki-laki masih diperdebatkan, apakah termasuk bagian dalam, seperti kotoran yang masih berada di dalam perut atau bagian luar,” demikian dalam draf yang diajukan Fatayat.

Sedangkan bagi perempuan khitan tidak ada pengaruh apapun. Bahkan disebutkan, Rasulullah SAW sangat mengkhawatirkan rusaknya organ kemaluan perempuan apabila khitan dilakukan tidak hati-hati.

“Maka beliau menasehati Umm ‘Atiyyah untuk tidak ceroboh dalam mengkhitan perempuan. Atau mungkin saja Rasulullah lebih menghendaki tidak dikhitan untuk perempuan, karena akan lebih aman dari kerusakan yang dikhawatirkan, tapi Rasulullah menasehati Umm ‘Atiyyah untuk hati-hati dalam mengkhitan perempuan, karena khitan perempuan merupakan tradisi yang sudah membudaya dan sulit untuk dihilangkan, bukan perintah agama,” demikian dalam draf Fatayat.

Pemaparan ini juga disertai dengan dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits, serta penelitian lebih mendalam tentang derajat kesahihan hadits-hadits tersebut.

Jawaban dari pertanyaan “Apa hukum khitan perempuan?” ditafsil atau dirinci sebagai berikut; Apabila dilakukan dengan cara yang aman hukumnya mubah. Namun apabila dilakukan dengan cara yang tidak aman dan membahayakan maka hukumnya haram.

Dalam draf PP Fatayat itu juga dilengkapi dengan penjelasan seputar khitan perempuan baik secara medis maupun teknis pelaksanaannya.

Sementara itu bahtsul masail pada komisi diniyah waqiiyah menyepakati, ada dua hukum khitan bagi perempuan yakni wajib dan sunah. Khitan untuk perempuan dilakukan dengan memotong sebagian kecil dari klentit (clitoris) dan tidak terlalu banyak karena akan membahayakan.

Hasil bahtsul masail ini akan dibahas lagi dan diputuskan dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar, Maret mendatang. Selain persoalan khitan perempuan, ada 10 lagi masail atau persoalan yang akan dibahas dalam bahtsul masail komisi diniyah waqiiyah ini. (nam) . [data diambil dari nuonline]

Read More......

Fatayat NU Medan gelar Festival Busana Muslim




Pengurus Fatayat Nahdlatul Ulama (Fatayat NU) Kota Medan, akan menggelar festival busana muslim, 27 hingga 28 Maret, di Wisma Kartini Jalan Tengku Cikditiro. Acara ini dimaksudkan untuk membudayakan busana muslim untuk remaja.

"Selain menanamkan kebiasaan berpakaian muslimah sejak dini pada generasi muda, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk menghidupkan kreasi berbusana muslim," kata Ketua Fatayat NU kota Medan, Amriyani, Selasa (9/3) di dampingi Ketua Panitia Festival Juliarti.

Dikatakan Juli, kompetisi kreasi busana muslim saat ini cukup baik. Dari beberapa pameran yang dilakukan, baik skala nasional maupun lokal, menunjukkan peningkatan signifikan.

"Hanya saja, kita berharap, kreasi itu jangan hanya sebatas kepentingan bisnis semata. Namun lebih mendalam, bisa memuslimkan cara pandang, berfikir dan beraktifitasnya generasi muda muslimah, khususnya di Kota Medan", kata Juli.

Rencananya, kegiatan ini akan menghadirkan calon walikota Medan, Rahudman Harahap."Meski hingga kini belum ada konfirmasi berkelanjutan tehadap kehadiran bakal calon walikota Medan itu, namun kita berharap, Rahudman bisa melihat secara langsung ajang kreatifitas ini," ungkapnya.

Sebab sambungnya, Rahudman tokoh daerah ini yang diharapkan peransertanya memaksimalkan berbusana maupun kreatifitas busana muslim."Berbusana muslim itu perintah agama. Namun dalam merealisasikannya butuh kekuatan lain, yakni pengusaha dan penguasa," katanya seraya membandingkan dengan kondisi Provinsi Aceh. Dimana kaum wanitanya yang beragama Islam harus mengenakan busana muslim.

Selain keinginan untuk berbusana muslimah timbul dari masyarakat, untuk bisa melaksanakan program itu tandas Amri, tentunya berkaitan dengan kebijakan penguasa, dan kesiapan pengusaha.

Ketua Fatayat NU Provinsi Sumatera Utara, Lailan Sofyna menjelaskan, kegiatan ini diminati warga Kota Medan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kali even. "Animo warga Kota Medan cukup baik. Dari beberapa even, sedikitnya, seribuan generasi muda muslimah ikut serta. Gaung ini tentunya sangat baik untuk membiasakan kaum hawa menggunakan busana muslim," katanya. (sug)[data diambil dari harian analisa]dan gambar diambil dari google.co.id]

Read More......

Fatayat NU Semakin Mendunia




Adalah GPSA (Global Peace Service Alliance), sebuah lembaga swasta dunia yang terdiri dari negara-negara dari berbagai benua. Masing-masing negara diwakili oleh orang-orang yang dianggap konsern dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi di negara masing-masing. Terutama hal-hal yang terkait dengan perdamaian.

Anggota GPSA tidak hanya terdiri dari berbagai Suku Bangsa, juga dari berbagai agama yang ada di belahan dunia. Dimana semua mempunyai satu visi yang sama, yakni menciptakan perdamaian dunia.

Dalam hal ini, Fatayat NU dianggap mempunyai keseriusan dalam menyikapi berbagai hal terkait perdamaian. Hal tersebut disampaikan beberapa wakil GPSA dari Malaysia, Filipina, Thailand dan Jepang, dalam pertemuan GPSA dengan Fatayat NU (19/2). Pada kesempatan itu, Maria Ulfah Anshor, selaku Ketua Umum PP Fatayat NU, bersama beberapa pengurus yang lain, menyambut baik GPSA sebagai sebuah gerakan moral yang patut disikapi secara serius.

Rencananya GPSA akan memilih 15 orang dari Asia dari berbagai agama, dan Fatayat NU adalah salah satu kandidatnya. Mengingat peran Fatayat NU selama ini yang mampu berkiprah, tidak hanya di kancah nasional, bahkan sudah dikenal di dunia internasional. (ear)

Read More......

Presiden Dijadwalkan Buka Muktamar ke-32 NU




Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan tiba di Makassar pada Selasa (23/3) pukul 11.00 WITA untuk membuka Muktamar ke-32 Nahdatul Ulama (NU). "Pak Presiden dipastikan akan membuka Muktamar NU yang dilaksanakan di Makassar pada Selasa pekan depan. Pak Presiden akan tiba pukul 11.00 Wita," kata Komadan Kodim 1408/BS Letkol Syaiful Anwar, di Makassar, Sabtu (20/3).

Menurut rencana, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Celebes Convention Center (CCC) Makassar, Selasa (23/3). Untuk pengamanan akan diterjukan 2.000 personil TNI dan kepolisian. Pengamanan yang terdiri atas dua unsur tersebut nantinya ditempatkan pada titik-titik yang telah ditentukan mulai dari Bandar Udara Sultan Hasanuddin hingga ke lokasi pembukaan.


Kapolda Sulawesi Selatan dan Barat Irjen Pol Adang Rochjana mengatakan untuk pembukaan, Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI Hari Krisnomo ditunjuk sebagai penanggungjawab keamanan presiden. "Aparat kepolisian hanya membantu karena tanggungjawab penuh ada pada Kodam. Nantinya kita (polisi) akan ditempatkan pada ring tiga," jelasnya.

Disinggung mengenai akan adanya rencana mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa pada saat kunjungan Presiden nanti, Kapolda mengaku akan mengkaji ulang pemberian izin unjuk rasa mahasiswa.

Izin unjuk rasa itu juga akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat unjuk rasa, apalagi kunjungan Presiden merupakan kepentingan besar dan kepentingan umum karena NU merupakan salah satu organisasi Islam terbesar yang ada di Indonesia.

Pada Muktamar NU itu juga, akan dihadiri sekitar 10 ribu orang kader NU dari seluruh Indonesia belum termasuk perwakilan 40 duta besar, 50 peninjau dari luar negeri dan media asing.(ANT)[ diambil dari tvone]


Read More......

Friday, February 19, 2010

Hasyim: Nikah Siri Bisa Diberi Sanksi




JAKARTA - Hukuman pidana yang mengancam pelaku nikah siri seperti yang tercantum Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama tentang nikah siri, poligami, dan kawin kontrak tidak diperlukan. Sebaiknya, pelaku nikah siri hanya dikenakan sanksi administratif.

Demikian dipaparkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi usai menerima perwakilan anggota Pansus Hak Angket Bank Century di Kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat (19/2/2010).

"Kalau sanksi pidana itu gampang dihindari. Karena ini masalah perdata ya sebaiknya sanksinya perdata juga, berupa sanksi administrasi," tambahnya.

Persoalan nikah siri, Hasyim sepakat jika nikah tanpa tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) itu ditertibkan. Karena, bagaimanapun nikah siri merugikan wanita dan anak-anak.

"Ada banyak hak yang hilang jika seorang wanita dinikah siri, misalnya seorang isteri yang suaminya PNS, dia tidak akan mendapatkan hak pensiunan suaminya. Anak-anaknya, yang seharusnya tercatat malah tidak tercatat," kata dia.

Hasyim menambahkan akan menjadi serba salah ketika persoalan nikah siri berhadapan dengan budaya sebuah daerah. "Misalnya di Madura, wanita di sana mengantri untuk dinikah siri. Itu kan sudah menyangkut budaya, kalau di negara Islam perkawinan itu otomatis melalui pencatatan di negara," pungkasnya.(bul)[data diambil dari okezone]



Read More......

Wednesday, February 17, 2010

Hasyim Muzadi : Fatayat Harus Jadi Organisasi Kader





Ketua Umum PBNU mengharapkan agar Fatayat NU yang merupakan badan otonom pemuda perempuan memposisikan diri sebagai organisasi kader, bukan organisasi massa. “Kalau para pemimpinnya berkualitas tentu saja massa dengan sendirinya akan ikut,” tandasnya dalam pidato pembukaan Kongres ke XIII Fatayat NU di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta (11/7).

Hasyim dalam forum tersebut juga mengemukakan agar pada kader Fatayat bisa membedakan antara keserasian peran dengan kesetaraan gender. Dalam banyak kasus yang ditemuinya selama ini seringkali banyak aktifis perempuan yang tak dapat membedakan hal tersebut.

Kasus yang dicontohkannya yang tak sesuai dengan nilai Islam, khususnya di Barat adalah hak untuk kawin sesame jenis. Sementara untuk di Indonesia adalah keinginan dari sebagian aktifis untuk memasukkan dalam UU bahwa seorang istri yang dipaksa melakukan hubungan seks sementara dia tidak mau termasuk kasus perkosaan.

Pertemuan lima tahunan ini diikuti oleh sekitar 1200 orang dari 333 cabang dan 32 wilayah. Hadir juga wakil dari pengurus cabang istimewa Fatayat Malaysia. Sampai acara dibuka beberapa peserta yang menggunakan transportasi kapal laut belum sampai di tujuan.

Selain acara persidangan, juga terdapat bazaar yang menampilkan pernik-pernik produk tentang Fatayat seperti pin, logo, kaos dan lainnya. Terdapat pula posko KB dan HIV/AIDS. Ini sekaligus sebagai media untuk sosialisasi tentang kesehatan reproduksi.

Ketua Panitia Kongres dr. Wan Nedra Komaruddin menjelaskan bahwa acara ini memang sengaja dilaksankan saat libur sekolah karena sebagian besar pengurus Fatayat memiliki profesi sebagai pengajar.

Pembukaan ini sekaligus digunakan untuk memberikan penghargaan kepada tujuh orang yang dianggap berjasa dalam mengembangkan Fatayat. Mereka yang menerima bros emas tersebut adalah tiga serangkai pendiri Fatayat Huzaimah Mansyur, Aminah Mansyur dan Murthosiah. Pembuat lambang Fatayat Maryam Thoha, pencipta mars Fatayat M Thoifur Syaerozy serta Matsani Muzayyin dan Husnul Khotimah Sali yang mendedikasikan hidupnya untuk Fatayat. Sebagian besar dari mereka tidak dapat hadir dan diwakili oleh kerabatnya atau pengurus Fatayat setempat.

Beberapa agenda yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah perubahan batasan umur dari 40 tahun menjadi 45 tahun. Restrukturisasi kepengurusan dari 4 ketua menjadi 6 ketua yang masing-masing akan berkonsentrasi penuh dalam satu bidang.

Posisi pembina yang dulu dipegang oleh mantan ketua umum Fatayat juga akan dirubah menjadi dewan pembina yang terdiri dari beberapa orang. Mereka akan menjalankan fungi yudikatif untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam internal anggota.(mkf)[dta diambil dari nu oneline]



Read More......

Tuesday, February 16, 2010

Gereja Katolik Roma di Spanyol melancarkan kampanye melawan aborsi



Gereja Katolik Roma di Spanyol telah melancarkan kampanye melawan aborsi sebagai kelanjutan dari pengumuman pemerintah pada awal Maret lalu yang bermaksud untuk membebaskan undang-undang negara tahun 1985 tentang aborsi.
Kampanye tersebut mengusung gambar yang membandingkan antara hak binatang dengan hak anak yang belum lahir. Pada papan reklame kampanye menunjukkan seorang anak sedang berjalan di samping Iberian lynx, salah satu jenis hewan yang paling dilindungi di Spanyol.


Keterangan gambar tersebut bertuliskan “Bagaimana dengan saya? Lindungi Hidup Saya!” ujar laporan AP.
Baru-baru ini, aborsi terjadi dalam masa 12 minggu dalam kasus kehamilan karena perkosaan, sampai pada 22 minggu jika bayi ternyata cacat, atau pada tahap manapun pada wanita apabila kehamilan tersebut dapat membahayakan kesehatannya.
Jose Antonio Martinez Camino, seorang juru bicara untuk Konferensi Uskup Spanyol mengatakan kepada Radio Nasional Spanyol, “Kami ingin berbicara untuk mereka yang tidak memiliki suara.”
Posisi Gereja juga didukung oleh ratusan ilmuwan dan peneliti yang mengeluarkan pernyataan menentang rencana pemerintah.
Dr Monica Lopez Barahona, direktur perusahaan biomedis, telah menandatangani surat dan mengatakan, “Aborsi, menjadi sebuah serangan atas kehidupan pada minggu-minggu pertama perkembangan, tak seorangpun dapat dibenarkan,” lapor AP.
Sejak Pemerintah Sosialis mengeluarkan kekuasaannya, sejumlah bentrokkan dengan Gereja terjadi terkait masalah moral, khususnya mengenai diperkenalkannya pernikahan gay dan dibebaskannya undang-undang perceraian.
Kampanye yang dilakukan Gereja tersebut berlangsung hingga 30 Maret lalu dengan 1.300 reklame tersebar di 37 kota.[diambil dari khabarislam.wordpress.com]


Read More......

Tanpa Pondok, Haram Hukumnya Sandang Gelar Kiai




selain membahas dukungan kepada KH Solahuddin Wahid alias Gus Sholah, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng Jombang menjadi kandidat ketua umum PBNU dalam muktamar Makassar, Forum Pengasuh Pondok Pesantren dan Habaib (FP3H) se Jawa-Madura yang digelar di kediaman KH Idris Marzuki, pengasuh Ponpes Lirbyo Kediri, juga membahas mengenai pemberian label kiai.

Sekitar 50 orang kiai yang hadir menyepakati hukumnya haram kepada seseorang yang menyebut atau disebut sebagai kiai, namun tidak memiliki pondok pesantren. Hal itu hasil dari Bathsul Masail, yang digelar Makkah.

"Kiai itu harus mempunyai pondok pesantren. Kalau tidak, maka haram hukumnya. Hasil Bathsul Masail yang digelar di Saudi Arabia ini tadi juga dimunculkan dalam forum itu," kata Pengasuh Ponpes As-Somadiyah, KH Sofiyullah, Minggu (14/2).


Diakui KH Sofiyullah bahwa seluruh kiai yang hadir dalam forum di Lirboyo Kediri tidak ada yang membantah mengenai keputusan Bathsul Masail dari Makkah tersebut.

"Selain tidak membantah, para kiai juga tidak ada yang memperpanjang masalah ini. Jadi, yang namanya kiai wajib hukumnya memiliki pondok pesantren," tegas Kiai Sofiyullah. [beritajatim.com/bar]diambil dari [inilah.com]


Read More......

Thursday, February 11, 2010

Sunat Kurangi Risiko Terinfeksi HIV






"Negara Asia dan Afrika dengan prevalensi populasi laki-laki disunat kurang dari 20 persen mempunyai prevalensi HIV beberapa kalu lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang populasi laki-laki disunat mencapai lebih dari 80 persen," kata Direktur Pelayanan Kesehatan Yayasan Kusuma Buana dr Adi Sasongko dalam diskusi tentang kesehatan yang berlangsung di Jakarta, Selasa.

Adi Sasongko menambahkan beberapa penyebab laki-laki yang tidak disunat lebih banyak terinfeksi HIV karena mukosa kulup (kulit ujung penis-red) mengandung banyak sel Langerhans sehingga lebih rawan teronfeksi HIV.

Selain itu, mukosa tersebut lebih mudah lecet atau terluka bila tidak dilakukan sunat. Luka atau lecet itu bisa menjadi pintu masuknya virus HIV.

"Juga kondisi lingkungan di lipatan kulup menjadi tempat yang kondusif untuk bertahannya HIV," kata Adi dalam acara yang diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi DKI Jakarta tersebut.

Ditambahkannya, berdasarkan penelitian sejumlah ahli, risiko penularan HIV lebih rendah pada laki-laki yang disunat dibandingkan dengan yang tidak untuk di Afrika Selatan 76 persen lebih rendah, di Kenya 60 persen lebih rendah dan Uganda 55 persen lebih rendah.

Selain mengurangi risiko terinfeksi HIV, maka sunat juga dapat meningkatkan kebersihan penis sehingga mengurangi potensi penularan penyakit menular seksual lainnya.

Namun demikian, Adi mengingatkan sunat bukanlah langkah pencegahan penularan HIV karena ada hal lain yang harus dilakukan seperti menggunakan kondom saat berhubungan bila menyadari memiliki risiko tinggi tertular HIV serta upaya-upaya pencegahan lainnya.

Meski menyatakan perlunya mengkampanyekan sunat, namun Adi mengingatkan kampanye tersebut dilakukan dengan hati-hati. Ia menambahkan, selama ini sunat identik dengan salah satu pelaksanaan ajaran Islam dan bila pola kampanye salah, bisa disalahartikan oleh pemeluk agama lainnya.

"Tapi yang harus kita ketahui, di Amerika Serikat dan Eropa sendiri, praktik sunat banyak dilakukan, tentunya berangkat dari alasan kesehatan," paparnya.

Sementara itu menanggapi pro dan kontra praktik sunat bagi perempuan, Adi mengatakan sunat perempuan yang dilakukan di Indonesia berbeda dengan yang dilakukan di Afrika.

"Kalau di Afrika praktiknya ada yang hingga memotong klitoris dan kerap dilakukan dengan metoda yang tidak higienis sehingga menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi. Di Indonesia, di beberapa daerah, dilakukan sunat pada perempuan karena tradisi, biasanya hanya sedikit melukai pada klitoris," katanya.

Meski demikian, papar Adi, secara pribadi ia menilai sebaiknya sunat pada perempuan tidak dilakukan karena tidak memberikan pengaruh apa pun terhadap peningkatan kesehatan perempuan. (ant/mad)

data dikutip dari website fatayat.or.id


Read More......

Tuesday, February 9, 2010

Hormon Seks Wanita Hadang Penuaan Dini




AKIBAT peningkatan estrogen, proses penuaan dini pada wanita berjalan lebih lamban. Ternyata, hormon ini bisa meningkat jumlah produksinya karena perasaan nyaman wanita saat berhubungan intim.

Saat berhubungan intim, bisa jadi pria tidak terlalu memerhatikan apakah pasangannya merasa nyaman atau tidak dengan "pertempuran" nakal yang dilancarkannya. Padahal, kenyamanan memegang peranan penting untuk kepuasan wanita.

Jika kondisi tengah dihadapi, biasanya wanita hanya memendamnya dalam hati. Para pria, Anda harus segera memastikan kenyamanan pasangan saat beraktivitas seks.


Pasalnya, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Dr David Weeks, neuropsikologis klinis dari Rumah Sakit Scotland's Royal Edinburgh, berhubungan seks dapat memperlambat proses penuaan. Namun tak serta merta semua aktivitas seks menghadang penuaan dini. Ada syarat di balik pernyataan studi tersebut.

Syarat yang paling penting adalah kenyamanan. Apabila pasutri merasa nyaman ketika berhubungan intim, maka dengan sendirinya tubuh dalam kondisi siap menerima perlakukan pasangan.

Seperti diulas Carefair, peningkatan produksi estrogen (hormon seks wanita) ditengarai menjadi dalang proses penuaan dini berjalan lebih lamban. Hormon ini turut andil dalam merawat rambut agar senantiasa sehat. Selain itu, dikatakan Weeks, pasutri yang memiliki kehidupan seks harmonis, kondisi kulitnya cenderung lebih bersinar bila dibandingkan dengan pasutri yang bermasalah dengan kehidupan seksualnya.

Bagi wanita, rasa nyaman ditandai dengan keluarnya banyak cairan pelumas dari vagina. Cairan ini berfungsi memudahkan penetrasi penis untuk bisa masuk dan keluar secara intens.(ftr)

dikutip dari ake zona Selasa, 9 Februari 2010 - 13:02 wib

Read More......

Melirik Peta Human Trafficking di Indonesia




JAKARTA - Berbicara tentang perdagangan manusia tentu bukanlah hal baru lagi bagi telinga masyarakat Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, kasus human trafficking juga telah marak di sejumlah negara sejak ratusan tahun.

Menurut UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang disebut trafficking atau perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.


Salah satu sumber menyebutkan, sekira 375 ribu orang di Asia menjadi korban trafficking setiap tahunnya. Bahkan ada sekira 50 ribu orang di Afrika, 75 ribu orang di Eropa Timur, 100 ribu orang di Amerika Latin dan Karibia, yang juga menjadi korban trafficking.

Di Indonesia, berdasarkan hasil pemantauan Komisi Nasional Perndungan Anak Indonesia (KPAI), hampir sebagian besar daerah di Indonesia terindikasi sebagai daerah asal korban trafficking, baik untuk dalam maupun luar negeri. Daerah tersebut antara lain, Nanggroe Aceh Darrussalam, Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur.

Sedangkan kota-kota besar yang menjadi daerah transit, antara lain Medan, Dumai, Lampung Selatan, DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, Makasar, Ternate, dan Serui (Papua).
Sebagian besar daerah yang menjadi asal korban tersebut ternyata juga menjadi penampung korban trafficking. Misalnya saja Medan, Lampung Selatan, DKI Jakarta, Bandung, Denpasar, dan sejumlah kota di Papua.

Trafficking ke luar negeri mengincar beberapa negara. Korban yang dijaring dari daerah-daerah asal tersebut biasanya dikirim ke sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Arab Saudi, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Bahkan ada juga yang dikirim hingga ke Perancis dan Amerika Serikat.

(Diolah dari berbagai sumber)
data dari oke zona Senin, 18 Mei 2009 - 13:29 wib

Read More......

Friday, January 29, 2010

MENGAPA PERLU ADANYA ADVOKASI PAKET UU POLITIK?




By: Maryam Fithriati (Bid. Advokasi, Hukum dan Politik PP. Fatayat NU) Minimnya keterwakilan perempuan dalam jabatan publik dan politik membawa dampak masalah dan kepentingan perempuan tidak menjadi isu prioritas dalam proses pembangunan dan kebijakan. Bahkan, berdasarkan pada realita banyak ketimpangan-ketimpangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang selama ini tidak berpihak pada perempuan. Kurang terwakilinya perempuan dalam bidang politik dikarenakan konstruksi sistem (struktur dan peran institusi, substansi dan dampak suatu kebijakan publik), dan kultur (nilai, dogma, kebiasaan) yang tidak berpihak pada perempuan. Tingkat representasi perempuan yang rendah menjadi alasan adanya pelanggaran tehadap hak-hak asasi fundamental perempuan.

Tingkat representasi yang tidak setara dalam badan legislatif mengartikan bahwa representasi perempuan, yang seharusnya menjadi suatu fungsi dari demokratisasi, ternyata lebih berfungsi untuk mempertahankan status quo. Tentu saja hal ini akan berakibat pada sulitnya pencapaian tiga strategi peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan, yaitu melalui pengentasan kemiskinan (anti poverty), pendekatan efisiensi serta pendekatan pemberdayaan (empowerment), yang telah dirumuskan dengan program Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD). Beberapa dampak yang dialami perempuan karena tidak dilibatkannya perempuan dalam proses pembangunan dan pengambilan kebijakan, misalnya, dalam posisi struktur politik, hanya sedikit wakil perempuan yang duduk sebagai pengambil kebijakan (legislatif, maupun eksekutif) dan lembaga penegakan hukum baik di tingkat nasional maupun lokal. Kondisi ini berpengaruh terhadap sulitnya peningkatan akses perlindungan dan kesejahteraan untuk perempuan. Berdasarkan hasil pemilu 2004, dari 550 kursi di DPR RI perempuan memperoleh 61 kursi, atau hanya sekitar 11 persen dari total anggota DPR. Prosentase ini hanya meningkat sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan di DPR periode sebelumnya, tahun 1999 – 2004, perempuan hanya memperoleh 9,6 persen atau 48 orang perempuan dari 500 kursi di DPR. Dilihat dari keterwakilan, jumlah perempuan di lembaga legislatif tentu saja tidak cukup untuk merepresentasikan kepentingan perempuan. Karenanya tidak mengherankan jika keputusan yang dihasilkan oleh parlemen seringkali lebih banyak mendomestikasikan peran-peran perempuan, sangat maskulin serta kurang mempertimbangkan kepentingan perempuan. Dalam posisi Internasional, menurut data Inter-Parlementary Union (IPU) per 31 Juli 2007 tentang tingkat keterwakilan perempuan dalam parlemen, dijelaskan bahwa dari 179 negara Indonesia berada dalam urutan ke 88. Meskipun secara prosentase angka keterwakilan perempuan meningkat tetapi peningkatan juga dialami oleh negara-negara lain, sehingga posisi Indonesia menurun 5 tingkat dari sebelumnya. Bahkan, Indonesia termasuk dalam kategori salah satu dari 80 negara di mana keterwakilan perempuan berkisar antara 0 – 11%. Untuk tingkat Asia, tingkat keterwakilan perempuan Indonesia dalam parlemen lebih rendah dibandingkan dengan China (20.3%) dan Filipina (22.5%). Serta jauh tertinggal dibanding dengan Singapura (24.5%), Laos (25.2%) dan Vietnam (25.8%). Dengan meningkatnya jumlah representasi perempuan posisi Indonesia meningkat berada di atas Malaysia dan Thailand. Data di bawah ini menjelaskan posisi Indonesia di antara Negara-negara Asia Tenggara.


Read More......

Maria Ulfah Anshor( Ketua Umum PP Fatayat NU 2005-2009 )





“Pemecah Kebekuan Berfikir”

“……….Jika kita bicara nas atau teks-teks al-Quran, maka kita akan melihat bahwa teks-teks tersebut mengangkat martabat perempuan, tetapi bagaimana dengan implementasinya? Hal inilah yang ingin kita angkat untuk menyeimbangkan antara teks dengan realitas, supaya tidak timpang……….”

Persentuhan Awal dengan Fatayat

Persentuhan awal saya dengan Fatayat pada 1989, ketika saya bekerja di Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia NU (LAKPESDAM NU). Saat itu, Fatayat dan Muslimat sering berkonsultasi program dengan lembaga ini. Karena saya di LAKPESDAM saat itu perempuan sendiri, saya selalu diminta untuk mendampingi mereka. Ketika itu, salah satu fungsi LAKPESDAM adalah memberikan bantuan teknis (tehnichal assistensi) terhadap badan otonom NU yang membutuhkan. Bahkan ketika itu sempat terbentuk Panitia Tetap Koordinasi Badan Otonom perempuan NU yang diprakarsai oleh Bapak Dr. Fahmi D. Saifuddin Zuhri, MPh. diketuai oleh Sahabat Mahsusoh Tosari dan saya sebagai sekretararis.



Pada tahun 1990, periode terpilihnya Sri Mulyati Asrori sebagai ketua umum PP Fatayat NU yang pertama, saya diminta untuk menjadi salah seorang pengurus di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Fatayat (Litbang). Pada pertengahan jalan, ada salah seorang pengurus yang mengundurkan diri dan saya menggantikan dia menjadi Wakil Sekretaris. Pada tahun 1993-1994, saya diminta menjadi pimpinan proyek untuk Program Kelangsungan Hidup dan Perlindungan Ibu dan Anak (KHPIA) di Fatayat NU namanya Bina Balita, bekerja sama antara Fatayat NU, UNICEF dan Departemen Agama RI. Pada tahun 1994-1995, saya mengelola program Pengembangan Kesehatan Masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Daerah Istimewa Aceh, bekerjasam dengan AIDAB yang kini namanya menjadi AusAID di bawah Kedutaan Besar Australia.

Pada periode kepengurusan 1995-2000, sahabat Sri Mulyati Asrori terpilih kembali sebagai ketua umum, ketika itu saya sebagai Ketua IV. Periode ini adalah masa kritis kepengurusan Fatayat NU, karena di satu sisi ketua umum sama sekali tidak aktif, mungkin hanya sekitar 6 bulan pertama beliau bisa intensif, selebihnya beliau berada di Canada melanjutkan S3-nya, hingga kongres yang lalu pun di Bandung beliau tidak bisa hadir. Meskipun kita akui di saat beliau pulang sesekali datang ke kantor Fatayat NU dan pernah membantu menegosiasikan program pelatihan sensitivitas gender untuk Pengurus Wilayah (PW) Fatayat NU Jawa Barat dan PW Fatayat NU Yogyakarta bekerjasama dengan Kedutaan Besar Canada. Namun ketika itu sahabat Sri Mulyati belum sempat melakukan konsolidasi yang tuntas di antara jajaran ketua yang ada maupun pengurus lainnya. Usulan beliau ketika itu adalah melakukan kepemimpinan secara periodik di antara empat ketua yang ada yaitu ketua I, ketua II, ketua III dan ketua IV tetapi ditolak oleh sebagian besar pengurus, mereka meminta serah terima kepemimpinan otomatis kepada ketua I karena ketua umum dianggap berhalangan.

Kondisi tersebut berdampak pada kinerja pengurus selama periode ini menjadi sangat tidak kondusif, di antara ketua yang ada masing-masing jalan sendiri-sendiri. Pada akhirnya ketua I sahabat Ermalena berbesar hati melanjutkan kepengurusan tersebut hingga kongres dan sukses. Dalam arti berhasil mengantarkan kongres dengan pertanggungjawaban Pucuk Pimpinan Fatayat NU (PPF) diterima oleh seluruh peserta kongres meskipun tanpa dihadiri oleh ketua umum. Dalam hal ini, beliau menanggung beban moral paling berat, dengan posisi sebagai ketua I tetapi harus menerima beban dan tanggung jawab sebagaimana ketua umum. Padahal kalau mau hitung-hitungan, dalam pemilihan waktu Kongres beliau memperoleh suara yang signifikan hanya selisih 1 atau 2 suara dengan sahabat Sri Mulyati dari seluruh suara pemilih. Inilah pengalaman pahit dari bentuk ketidakadilan struktural yang ada dalam sejarah Fatayat NU. Mudah-mudahan tidak terulang hingga kapanpun.

Di sisi lain, sejak bantuan proyek KHPIA terhenti dari UNICEF pada tahun 1993, Fatayat NU nampaknya tergantung sekali pada bantuan dana asing, karena sejak itu program di Pucuk Pimpinan nyaris tidak bisa jalan hanya dengan mengandalkan sumbangan lokal dan temporer, apalagi iuran anggota. Fatayat NU mengalami kesulitan dana yang luar biasa, sehingga untuk menggaji pegawai sekretariat pun pengurus harus patungan. Kondisi ketergantungan tersebut bila kita analisa bisa juga karena faktor ketidakaktifan ketua umumnya, karena setengah dari periode kepengurusan sahabat Sri Mulyati yang pertama (1990-1995) beliau juga mengambil studi S2 di Canada. Namun hal tersebut mungkin juga karena fenomena global maraknya donor asing yang mendanai program-program sosial di Indonesia ketika itu. Fatayat NU termasuk salah satu lembaga yang menikmati dininabobokan dengan bantuan tersebut sejak tahun 1986 untuk proyek Kelangsungan Hidup Anak (PKHA) atau KHPIA.

Pelan-pelan kemudian bangkit lagi setelah ada bantuan program Social Marketing Vitamin A (SOMAVITA) kerjasama antar Fatayat NU dengan AED (Academic Education Development) dan Helen Keller International (HKI). Disusul pada tahun berikutnya kerja sama dengan AIDAB yang keduanya merupakan donor asing dari Amerika dan Australia.

Wacana Kesetaraan Gender

Persentuhan Fatayat NU dengan wacana gender terjadi pada tahun 1997-2000. Saat itu Fatayat NU mengangkat program “Penguatan Hak-hak Perempuan” bekerja sama dengan The Asia Foundation (TAF) untuk beberapa training sensivitas gender, analisis gender dan penyiapan tenaga pengelola Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan (LKP2). Pada tahun 1998, Fatayat NU mengembangkan hak-hak perempuan termasuk di dalamnya hak-hak reproduksi. Untuk program “Penguatan Hak-hak Kesehatan Reproduksi Perempuan” bekerja sama dengan Ford Foundation. Pada saat itu, terjadi perdebatan yang cukup serius dalam intern pengurus, khususnya di tingkat harian. Saat itu muncul pernyataan yang menyindir dari kalangan teman-teman “Kok rajin amat, sementara yang memperoleh nama kan ’ketua umum”. Pada waktu itu ketua umum sahabat Sri Mulyati memang tidak aktif sebagaimana telah saya ceritakan di atas. Saya sendiri tidak pernah berpikir seperti itu. Saya hanya sebatas memanfaatkan peluang dan potensi yang bisa saya lakukan untuk tanggung jawa saya sebagai ketua IV waktu itu.

Begitu juga ketika saya menggagas program perspektif gender di Fatayat NU bukan tanpa tantangan, sebagian besar di jajaran pengurus harian terutama ketua yang lain mengambil posisi konfrontatif. Salah seorang yang menerima gagasan ini adalah sahabat Musdah Mulia, saya kemudian mendiskusi proposal yang saya buat dengan beliau sebagai ketua II. Ternyata proposal tersebut disetujui oleh TAF. Dalam pelaksanaan proyek tersebut beliau mau membantu terlibat dalam lokakarya, training dan lain sebagainya. Dengan posisi saya sebagai Pimpinan Proyek Penguatan hak-hak perempuan yang kemudian melahirkan LKP2 sebanyak 26 unit pada 26 Kabupaten, membuat saya banyak berhubungan dengan cabang dan wilayah. Karena wilayah dan cabang mengenal saya, maka sangat wajar kalau kemudian saya memiliki peluang yang besar pada Kongres. Proses tersebut sangat alamiah, hingga mengantarkan saya masuk dalam bursa calon dan terpilih menduduki posisi ketua umum untuk periode 2000-2005 sebagaimana sekarang ini.

Perlu pula saya kemukakan di sini bahwa cukup berat waktu itu untuk sosialisasi kesetaraan gender, karena mengalami perbenturan yang tajam, wacana ini dianggap baru dan kebarat-baratan. Perbenturan ini terbawa hingga kongres, sebagian dari mereka menolak saya menjadi Ketua Umum PP Fatayat NU. Alasan mereka, jika saya memimpin Fatayat NU dengan membawa visi kesetaraan gender, maka kemungkinan akan melunturkan nilai-nilai NU. Ketika saya benar-benar terpilih, orang yang menolak wacana gender pun memilih tidak aktif selama kepengurusan periode saya, namun dia tidak dapat mengundurkan diri dan kami pun tidak dapat menggantinya karena dia dipilih oleh Kongres.

Saat saya terpilih sebagai Ketua Umum PP Fatayat NU pada Kongres yang berlangsung di Hotel Savoi Homan Bandung, tahun 2000, obsesi utama saya adalah bagaimana melakukan gender mainstreaming di Fatayat NU. Sebelum kongres berlangsung, yakni tahun 1999, Fatayat NU sudah mencoba merumuskan visi dan misi organisasi yang tertulis dalam Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT). Visi Fatayat NU sebagaimana yang terlihat pada program-program Fatayat NU 2000-2005 adalah “menghapus segala bentuk kekerasan, ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat dengan mengembangkan wacana kehidupan sosial yang konstruktif, demokratis dan berkeadilan gender”. Sedangkan misi organisasinya adalah “membangun kesadaran kritis perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender”. Sebelumnya, tidak ada visi dan misi tertulis dalam organisasi Fatayat.

Ide Restrukturisasi

Setelah saya terpilih sebagai Ketua Umum, pada awalnya saya mengikuti pola yang berlaku selama ini (setidaknya sejak saya masuk di Fatayat NU pola tersebut sudah ada) yaitu ada pengurus harian, ada pengurus bidang dan ada pengurus yang merupakan gabungan dari harian dan bidang yang disebut tim kerja proyek yang tugasnya melaksanakan proyek berkaitan dengan isu-isu tertentu yang didanai oleh funding. Dalam melaksanakan program kegiatan, tim kerja proyek lebih aktif karena dana dan fasilitasnya sudah tersedia dan mereka yang bekerja pun mendapat tunjangan rutin setiap bulan sesuai dengan masa berlangsungnya proyek. Sementara program dan kegiatan Fatayat NU yang di luar proyek, meskipun merupakan keputusan kongres, harus jungkir balik mencari dana sendiri dan teman-teman yang bekerja pun tidak mendapatkan tunjangan apa-apa, kecuali menghibur diri lillahi ta’ala, dengan harapan Allah SWT akan membalasnya dengan pahala kelak di akhirat. Amien. Situasi kerja tersebut berlangsung selama tiga periode saya di Fatayat NU sejak 1990-2005.

Kondisi tersebut di satu sisi sangat bagus karena Fatayat NU punya tim kerja yang baik dan bisa menyelesaikan kegiatan sesuai dengan jawal yang disepakati donor. Tetapi di sisi lain, menimbulkan kecemburuan sosial karena sama-sama bekerja untuk Fatayat NU tetapi diperlakukan berbeda. Dan yang paling mengerikan sesungguhnya adalah berubahnya orientasi lillahi ta’ala menjadi orientasi ’kepentingan’ untuk mendapatkan fasilitas di organisasi. Bahkan tidak jarang mereka yang bukan pelaksana proyek menjadi jarang datang dan program-program hasil Kongres pun tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Saya sadar betul bahwa kondisi tersebut tidak adil dan harus dilakukan upaya perbaikan sistemnya termasuk dalam hal keuangan, supaya transparan dan ada pertanggungjawaban publik karena Fatayat NU adalah organisasi publik. Selama ini mereka adalah tim dalam proyek; mereka yang mengerjakan, dan mereka pula yang mengevaluasi. Dalam hal manajemen keuangan pun demikian, dipegang sendiri-sendiri antara proyek dengan induk organisasinya. Betul-betul tidak ada kontrol di dalamnya. Dalam hal ini tidak ada yang salah memang karena sistemnya belum ada dan dari dulu berjalan seperti itu.

Atas dasar kondisi itu sebenarnya yang membuat saya menggebu-gebu untuk melakukan restrukturisasi. Saya yakin betul jika sistemnya bagus dan keuangannya diaudit oleh Public Accounting secara berkala, pasti semua program Kongres dapat dilaksanakan, karena kita akan mudah mencari dukungan dana, tidak hanya bergantung dari bantuan funding tapi perorangan pun mungkin akan mengalir sendiri. Dengan sistem dan pertanggungjawaban keuangan yang transparan, kepercayaan terhadap Fatayat NU akan terbangun dengan sendirinya.

Saya masih ingat benar ketika tahun pertama kepengurusan, saat itu saya sudah katakan pada teman-teman para pengurus, bahwa saya siap tidak “populer”. Saya punya mimpi untuk membangun sistem, supaya organisasi berjalan dengan aturan sehingga dapat membuat kebijakan-kebijakan yang strategis dan berdampak jangka panjang bagi kepentingan perempuan. Namun ketika itu saya masih mengikuti pola lama sambil melakukan konsolidasi organisasi pasca kongres.

Pada tahun kedua, saya mempunyai gagasan restrukturisasi. Tujuan restrukturisasi ini adalah: Pertama, membangun sistem sebagaimana mimpi saya diawal kepengurusan, agar tidak tumpang tindih baik dalam kebijakan maupun manajemen organisasi. Kedua, penguatan institusi agar organisasi mempunyai harga diri, memiliki daya tawar (bargaining power) tinggi di mata penguasa maupun penyandang dana. Ketiga, kemandirian dalam pendanaan organisasi, supaya tidak selalu menadahkan tangan. Sudah bukan jamannya lagi kita minta-minta sumbangan tanpa berpikir memberikan sesuatu kepada penyumbang. Orang juga mulai kritis, kalau saya nyumbang Fatayat NU saya akan dapat apa dari situ? Pertanyaan tersebut sangat manusiawi. Belum lagi bila situasi politik memanas, dan berurusan dengan kepentingan politik donatur, pening kita, yang ada bisa-bisa Fatayat NU digadaikan untuk kepentingan sekelompok orang-orang tertentu yang memanfaatkan organisasi untuk kepentingan dirinya. Pada akhirnya, Fatayat NU menjadi organisasi yang sangat rapuh, mudah sekali diintervensi oleh pihak luar.

Oleh karena itu, Fatayat NU ke depan harus memiliki sumber dana tetap yang bukan berasal dari bantuan tapi dari usaha profit. Meskipun agak sulit memang, karena berlawanan dengan tradisi lama yang tidak pernah berpikir profit untuk organisasi. Kita terbiasa dengan menadah bukan memberi. Tradisi tersebut tidak hanya berlaku di Fatayat NU, saya kira organisasi massa lain pun demikian. Tapi Fatayat NU pada periode ini sudah mencoba, kita punya usaha kecil-kecilan seperti warung telpon (Wartel). Hasilnya memang belum apa-apa kalau dibandingkan dengan kebutuhan operasional atau pengeluaran rutin tiap bulan. Menurut saya tidak apa-apa, yang penting keinginan ke arah itu sudah dimulai dan harus terus berproses. Bahwa dalam usaha nanti keuntungannya kecil atau bahkan mungkin rugi, itu resiko, jangan mundur. Dalam hal ini kita memang membutuhkan waktu lama untuk berproses menangani usaha secara profesional.

Alasan utama lahirnya gagasan restrukturisasi ini sebenarnya berangkat dari pengalaman pahit yang tidak kondusif yaitu; Pertama, belajar dari pengalaman masa lalu ketika hampir semua pengurus harian melaksanakan proyek, tugas utama merealisasikan keputusan kongres yang menjadi tanggungjawabnya tidak jalan. Padahal ketua-ketua itu, khususnya pada periode 2000-2005 dipilih juga oleh kongres, cara mengatasinya bagaimana? Evaluasi berkali-kali dilakukan tapi tidak ada perbaikan, bahkan kemudian saya sebagai ketua umum merasa capek karena ketua-ketua yang ada hampir seluruhnya menjadi pimpinan proyek atau pelaksana proyek. Mereka tidak bisa juga kita dipersalahkan karena disepakati dalam rapat pleno, dan kebijakan periode sebelumnya (dari periode ke periode) bahwa pimpro itu harus pengurus harian. Kedua, pengalaman kepemimpinan saya selama dua tahun pertama, di saat semua ketua menjadi pimpinan proyek (pimpro), maka kekuatan pengambil kebijakan menjadi bias, orientasinya pada kepentingan proyek, dan bukan pada program amanah kongres. Dari sinilah terpikir harus membangun atau merevisi sistem yang ada.

Namun gagasan restrukturisasi ini sayangnya diawali dengan respon negatif dari sebagian besar pengurus. Dari penolakan merekalah saya menjadi tahu apa yang ada di balik isi kepala mereka. Kekuatiran mereka muncul karena mereka tidak mempelajari dahulu apa yang diinginkan dengan gagasan ini. Sebelum memahami duduk masalahnya, mereka sudah menyimpan kecurigaan dan prasangka negatif. Terutama kecurigaan bahwa saya dianggap akan mem-PKB-kan Fatayat. Situasi ini menjadi tidak sehat. Konflik antar pengurus pun berlangsung.

Pada situasi inilah, saya merasa sendirian dan tidak punya teman, dalam arti orang yang betul-betul mengerti dan memahami ide restrukturisasi ini. Salah satu cara yang saya lakukan adalah meminta masukan dari orang-orang yang mengerti kultur NU yang saya anggap bisa membantu persoalan yang saya hadapi, di antaranya dengan Bapak MM Billah, Bapak Nasihin Hasan, Bapak Masykur, sahabat Ermalena, sahabat Lilis Nurul Husna dan lain-lain. Mereka banyak sekali memberikan masukan-masukan yang membuat saya menjadi bersemangat lagi membawa isu restrukturisasi di Fatayat NU. Alhamdulillah, akhirnya lokakarya restrukturisasi dapat dilaksanakan, meskipun tidak diikuti oleh semua pengurus, karena mereka dari pengurus yang pro-status quo tidak mau hadir. Saya biarkan mereka tidak hadir, bahkan saya tahu persis di antara mereka ada yang memprovokasi teman-teman untuk tidak hadir dan selalu mencerca hasil kerja teman-teman yang menjadi tim perumus lokakarya itu. Sengaja situasi tersebut saya biarkan, toh akhirnya sejarah yang akan mencatat.

Dalam lokakarya restrukturisasi tersebut, Pak Billah bersedia menjadi fasilitator dan beliau mendukung sepenuhnya, bahkan beliau katakan ’salut’ kepada Fatayat NU kalau bisa memulai pembaharuan di tubuh NU. Ide ini memang butuh waktu, karena ada konsekwensi-konsekwensi yang menggeser posisi dan mengurangi otoritas maupun kewenangan. Begitu juga dalam pembidangan yang merupakan warisan dari periode sebelumnya yang sekarang tidak efektif, tetapi dipaksakan ada. Bidang-bidang dalam kepengurusan yang semula sembilan bidang, dikerucutkan menjadi lima bidang. Hingga kini ide restrukturiasi ini baru pada tingkat wacana, dan belum dilaksanakan, meskipun Konprensi Besar Fatayat NU pada pertengahan periode lalu telah menyetujui hasil lokakarya restrukturisasi tersebut diujicoba pada Pucuk Pimpinan Fatayat NU.

Wacana Gender dan Isu-isu “Sensitif”

Karena Fatayat mengembangkan penguatan “Hak-hak Reproduksi Perempuan”, maka tidak bisa melepaskan diri dari isu-isu yang dipandang sensitif, yakni isu aborsi, khitan perempuan (mutilasi), dan lain-lain. Dari hasil diskusi tersebut, kita menemukan bahwa khitan bagi perempuan itu sesungguhnya tidak wajib, tetapi mengapa hal tersebut diwajibkan? Terdapat penelitian bahwa khitan perempuan dari aspek medis sebenarnya tidak memiliki manfaat apa-apa. Berbeda dengan manfaat khitan bagi laki-laki. Khitan bagi perempuan justru dihilangkan pusat rangsangan kenikmatan seksualnya, karena sebagian klitorisnya dipotong. Tujuan diangkatnya wacana ini adalah kita ingin menyampaikan temuan kepada masyarakat bahwa dari sisi hukum Islam, kewajiban khitan bagi perempuan landasannya tidak kuat. Disamping yang utama adalah tujuan kemaslahatan bagi perempuan.

Demikian pula dengan isu aborsi. Kita mengangkat wacana ini tidak terlepas dari kenyataan yang dialami perempuan di Indonesia. Pada tahun 2002-2004, ditemukan bahwa setiap tahun, rata-rata dua juta perempuan melakukan aborsi dengan cara yang tidak aman. Dilihat dari pendekatan fiqh, hal ini cukup kontroversial. Para ulama klasik menyajikan dalil-dalil dengan sejumlah argumentasi dimana kita mempunyai banyak pilihan-pilihan, khususnya bagi mereka yang tidak siap hamil, seperti karena perkosaan, kegagalan kontrasepsi. Hal ini bisa dilakukan aborsi sebelum tiga bulan kehamilan.

Ketika saya mengangkat wacana diperbolehkannya perempuan melakukan aborsi sebelum usia kehamilan empat puluh hari atas kehamilan yang tidak dikehendaki, banyak kalangan berkomentar minor, termasuk di kalangan NU. Kalau mereka mau membaca kitab-kitab fikih klasik atau kitab kuning, pandangan yang saya lontarkan tersebut sebenarnya bukan hal baru, para ulama fikih dari madzhab empat yaitu Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki sudah mewacanakannya sejak 15 abad lalu. Saya hanya membahasakan kembali dalam bahasa Indonesia yang ditulis melalui buku saya berjudul: Fiqih Aborsi: Review Kitab Klasik dan Kontemporer. (2000)

Sasaran tembak dari dikembangkannya wacana aborsi ini adalah mencoba memberikan solusi kepada kaum perempuan bahwa daripada ia sembunyi-sembunyi melakukan aborsi ke tempat-tempat yang tidak aman, mengapa ia tidak mendatangi tempat yang aman saja seperti dokter yang sudah memperoleh badan hukum yang legal. Meskipun praktiknya sulit karena dokter pun tidak ada yang mau, mereka khawatir terjerat hukum pidana, karena dalam KUHP memang tergolong pidana. Ini dilematis memang, di satu sisi ingin menolong orang lain, tetapi dia sendiri yang akan terjerat hukum.

Hal serupa dengan isu poligami. Kita melihatnya dari sisi perempuan dimana ia menjadi pihak yang dirugikan. Padahal mengangkat isu ini bukan tanpa resiko, karena banyak kyai-kyai di lingkungan NU yang mempraktikkan perkawinan poligami.
Meluruskan Kotroversi

Sebagian orang mengatakan bahwa Fatayat NU di bawah kepemimpinan saya gaungnya besar di luar, tetapi lemah penguatannya dalam internal organisasi. Pengurus sesungguhnya sudah berbagi tugas untuk penguatan internal organisasi dengan adanya pembagian kapling dari ketua-ketua. Para Ketua membawahi wilayah-wilayah Fatayat NU. Ketua umum sebenarnya tidak mempunyai kapling tersebut, tetapi jika saya dibutuhkan hadir, maka pasti saya akan menghadirinya. Selain itu, pembinaan ke wilayah dan cabang berharap dari petugas yang melakukan kegiatan proyek-proyek Fatayat NU. Karena itu, kebijakan kita, siapapun yang ke daerah diharapkan sekaligus melakukan konsolidasi organisasi, namun hal tersebut jarang sekali terjadi.

Jika saya ke daerah/wilayah, selama saya menjadi ketua umum mungkin perbandingannya separo diundang oleh wilayah, separonya melayani undangan dari organisasi lain, seperti menjadi fasilitator, menjadi pembicara dalam seminar atau ceramah-ceramah. Pada kesempatan tersebut kemudian saya manfaatkan juga untuk bersilaturrrahmi dengan teman-teman pengurus Fatayat NU di daerah atau menghadiri acara-acara mereka. Jika mengandalkan fasilitas dari kas organisasi terbatas sekali, karena biasanya yang punya dana ke daerah adalah pelaksana proyek, tapi kita siasati sambil melakukan konsolidasi.

Mengapa gaung Fatayat NU lebih populer di luar daripada dalam internal Fatayat sendiri? Saya kira tidak sepenuhnya benar, karena banyak juga program-program yang kita lakukan di daerah, baik di PW, PC bahkan ke PAC seperti pada program pendidikan pemilih waktu Pemilihan Umum Legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden, tahun 2004. Namun kita akui memang belum merata di seluruh propinsi yang jumlahnya kini ada 30 PW. Berkali-kali proyek selalu di pulau Jawa, meskipun PP berkali-kali mengusulkan di pulau-pulau lain tapi funding selalu menolak. Dilematis memang, jika kita tidak mengambil tawaran untuk proyek di Jawa kita tidak dapat kesempatan, tetapi jika mengambil proyek itu konsekwensinya lagi-lagi jawa yang diuntungkan. Tapi itulah kenyataan yang ada, kita memang belum bisa mandiri dalam hal pendanaan organisasi yang bisa membiayai konsolidasi di seluruh propinsi.

Hal lain, saya sebagai ketua umum memang termasuk jarang menghadiri acara-acara konperensi wilayah. Selagi masih ada ketua-ketua atau pengurus harian yang bisa hadir, saya biasanya mendahulukan mereka untuk berangkat. Pertimbangan saya, kesempatan hadir dan memberikan sambutan atau pengarahan kepada PW/PC adalah proses dari kaderisasi. Semakin sering mereka diberi kesempatan ke daerah, semakin sering menjadi pembicara, memberikan pengarahan dan sebagainya, maka mereka akan semakin trampil. Saya sadar betul untuk sampai pada tingkat trampil prosesnya panjang, tidak cukup dengan latihan pengkaderan di kelas atau membaca buku, tapi harus memperbanyak praktik. Semakin banyak jam terbangnya (praktik) semakin trampil.

Selain itu, saya sebagai ketua umum punya tugas ekternal yaitu membangun jaringan keluar, melakukan terobosan-terobosan baru dan inovasi-inovasi baru. Bahwa kemudian faktanya teman-teman tidak puas bahkan tidak setuju dengan yang saya lakukan, ya harus dievaluasi. Dan evaluasi itu ada forumnya, bisa melalui rapat harian, rapat pleno atau meminta rapat khusus untuk diadakan evaluasi. Sejauh ini saya selalu terbuka, siapapun bisa mengusulkan rapat, dan dalam setiap rapat harian atau rapat lainnya saya selalu mengawali dengan menawarkan agenda, teman-teman menambahkan agenda kalau memang diperlukan untuk disikapi oleh organisasi.

Ironisnya, memang tidak semua orang bisa menyampaikan usulan atau ide-ide itu di forum. Ada juga yang seringkali waktu rapat tidak pernah bicara, tetapi mengemukakan ide-idenya di luar rapat dan memaksakan harus dilaksanakan. Atau ketidaksetujuannya dengan keputusan rapat, dibahas lagi dengan teman-teman yang bukan peserta rapat. Itu namanya ngerumpi, bukan keputusan yang mengikat yang harus dilaksanakan. Saya paling tidak suka dengan cara-cara tersebut dan saya paling sering menegur teman-teman untuk membiasakan bicara dan mengeluarkan uneg-unegnya di rapat, jangan dibawa keluar. Ini kebiasaan buruk memang, yang akan terus berulang karena menyangkut karakter orang.

Saya juga sering frustrasi menghadapi situasi tersebut. Ketika terjadi seperti itu, hiburannya mencari selingan rapat dengan jaringan saya di luar Fatayat NU. Ide-ide khususnya pembaharuan untuk kepentingan organisasi maupun isu-isu perempuan yang ditolak oleh teman-teman, saya juga suka gregetan. Ide-ide itu kemudian saya bawa keluar, saya donasikan ke lembaga lain yang membutuhkan. Misalnya, saat saya mengikuti rapat dengan lembaga-lembaga jaringan Fatayat NU, maka saya lontarkan ide tersebut, dimana sebelumnya “tidak laku” dalam internal Fatayat NU. Contohnya, masalah partisipasi perempuan dalam politik yang merespon 30 % quota perempuan di parlemen, saya katakan kepada para pengurus bahwa meskipun pengurus Fatayat tidak boleh merangkap jabatan dengan bergabung dalam partai politik, tetapi kita memiliki kemampuan tawar menawar (bargaining) dengan partai-partai politik yang ada untuk menitipkan kader-kader Fatayat NU supaya menjadi calon jadi di legislatif. Ide tersebut ditolak oleh sebagian para pengurus, bahkan diantara mereka ada yang sangat emosi hingga pingsan, betul-betul pingsan saking emosinya. Bagi saya, situasi tersebut sangat melelahkan. Dari sanalah saya bergabung dengan wadah yang bisa mendengar gagasan saya, seperti aktif mengikuti rapat jaringan CETRO, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan politik. Selain itu, biasanya saya meluapkannya dalam artikel yang kemudian dimuat di beberapa media masa khususnya di SWARA Kompas.

Belakangan saya baru merasakan bahwa situasi di Fatayat NU yang seperti itu secara tidak sadar menempa saya menjadi dewasa dan bisa menerima kemajemukan dalam berbagai situasi. Alhamdulillah, saya bersyukur, ternyata ada hikmahnya. Inilah barangkali hikmah yang paling berharga buat hidup saya, karena ketika pada akhir-akhir kepengurusan saya, saya memperoleh penghargaan dari CETRO (2004) untuk Calon Legislative Perempuan yang Berprestasi, Saparinah Sadli Award (2004) untuk tesis saya tentang Fiqh Aborsi Alternatif untuk Penguatan Hak Reproduksi, dan ANTV Award untuk kategori sosial (2005). Semua itu, baik langsung atau tidak saya kira jelas merupakan dampak positif dari posisi saya sebagai ketua umum Fatayat NU.

Ketika saya memperoleh beberapa penghargaan ini, suara “miring” pun muncul bahwa penghargaan tersebut adalah karena saya menyuarakan suara-suara kelompok perempuan tertentu di luar NU. Saya sadar betul bahwa saya mengusung ide-ide kesetaraan dan keadilan gender bukan titipan siapa-siapa, tetapi karena memahami dan merasakan apa yang terjadi pada perempuan, pada kita.

Faktanya, memang masih banyak tokoh-tokoh NU tidak memiliki perspektif gender, sehingga ketika kita bicara isu-isu perempuan dengan perspektif gender dianggap mengadopsi ide orang luar, sama sekali tidak. Contohnya, pada tahun 1998, ketika kita mencoba memasukkan gender mainstreaming di Fatayat, saya ingat benar ketika sejumlah kyai memanggil saya dalam suatu acara lokakarya dan mereka bertanya: “Apa yang dicari Fatayat? Selama ini ruang gerak perempuan ‘kan sudah leluasa?” Waktu itu saya jawab, “Apakah hak-hak perempuan sudah diperhatikan? Jika kita bicara nas atau teks-teks al-Quran, maka kita akan melihat bahwa teks-teks tersebut mengangkat martabat perempuan, tetapi bagaimana dengan implementasinya? Hal inilah yang ingin kita angkat untuk menyeimbangkan antara teks dengan realitas, supaya tidak timpang. Para kyai tersebut kemudian berkomentar, “ Jika demikian, Anda harus melakukannya dengan counter wacana lagi, karena yang Anda hadapi adalah para kyai.”

Sebagai organisasi, NU sendiri sebenarnya tidak pernah memberikan ruang kepada perempuan untuk mengemukakan masalah-masalahnya. Misalnya, pada pra Muktamar NU di Kediri, kita melakukan penelitian dengan mengenai pandangan para kyai tentang nusyuz. Temuan yang mengemuka dari penelitian tersebut bahwa pandangan para kyai soal nusyuz masih sangat bias laki-laki. Hasil penelitian ini ingin kita presentasikan di forum muktamar, tetapi ditolak. Akhirnya, kita presentasi di luar arena muktamar, waktu itu di ruang media.

Program Kerja.

Fokus program pada kepemimpinan saya adalah “Penguatan Hak-Hak Perempuan” yang mencakup pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Porsi terbanyak adalah pada upaya penghentian kekerasan terhadap perempuan dan penguatan hak-hak kesehatan reproduksi. Fatayat NU mempunyai Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan (LKP2) sebanyak 26 unit di 26 kabupaten dan Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi (PIKER). Selain itu, bekerja sama dengan BKKBN, Fatayat NU mempunyai program kesehatan bagi remaja puteri.

Dalam bidang politik, program yang dikembangkan Fatayat adalah pendidikan pemilih serta pengembangan partisipasi politik warga melalui Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR). Dalam bidang ekonomi, bekerja sama dengan AUSAID, Fatayat NU melakukan pembinaan pedagang kecil dan pengrajin. Selain itu, pada dua tahun terakhir ini Fatayat NU juga konsen pada pencegahan perdagangan orang (trafficking), khususnya terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) bekerja sama dengan International Labor Organization (ILO) dan International Organization for Migration (IOM).

Program lain adalah membangun dan mengembangkan jaringan kerja dengan berbagai lembaga, seperti LSM-LSM perempuan, organisasi masyarakat dan lembaga penyandang dana (funding). Jejaring ini dilakukan agar kita bisa melaksanakan kerja bersama, seperti melakukan advokasi dan terlibat dalam merancang berbagai Undang-undang: Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Revisi Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Pemilu dan Partai politik mengenai perjuangan memperoleh kuota 30% perempuan di parlemen, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas), Undang-Undang Pornografi, dan lain-lain.

Untuk revisi Undang-Undang Kesehatan, misalnya, Fatayat memperjuangkan penyediaan pelayanan dasar persalinan. Selama ini, standar pelayanan persalinan yang komperhensif hanya ada di tingkat Kabupaten (RSUD), sementara masyarakat bawah sulit menjangkaunya. Kita mengusahakan agar masyarakat memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau.

Fatayat NU pun mengembangkan advokasi buruh migran dengan melakukan penyadaran pada masyarakat di pedesaan dengan memberikan informasi bahwa ketika mereka mau bekerja, ada persyaratan-persyaratan yang harus mereka ketahui. Ini didasarkan fakta bahwa mereka yang pergi bekerja ke luar negeri tidak tahu keterampilan apa yang harus dimiliki dan apa yang harus mereka kerjakan di sana. Yang kita sadarkan adalah bahwa jika mereka mau bekerja, maka bekerjalah dengan prosedur yang legal dan sebelum berangkat mereka harus mengukur diri, supaya tidak terjebak pada penipuan dan perdagangan orang. Target sasarannya adalah kelompok-kelompok pengajian ibu-ibu, diantaranya di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fatayat NU dalam melakukan advokasi bergerak pada dua tingkatan. Pertama, penyadaran pada masyarakat akar rumput (grass roots). Kedua, pada tingkat atas yaitu para pembuat kebijakan. Selama ini banyak Undang-undang yang tidak berperspektif gender, sehingga perempuan menjadi pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, sekalipun kita sudah secara sungguh-sungguh melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat akar rumput, tetapi jika kebijakannya tidak berpihak kepada kelompok perempuan, hasil yang dicapai sangat lama dan tidak terlihat. Dengan melakukan penguatan pada dua tingkatan tersebut, diharapkan semua kebijakan publik menggunakan perspektif gender, berbasis pada nilai-nilai-keadilan dan berorientasi pada kepentingan publik bukan kepentingan penguasa. Pada saat yang bersamaan kita juga harus memberikan penyadaran kepada masyarakat supaya mempunyai kesadaran terhadap nilai-nilai tersebut.

Pada program pendidikan, Fatayat mendorong para pengurus untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, terutama untuk program master. Mereka diberikan beasiswa dengan harapan mereka menjadi tenaga ahli yang siap membangun Fatayat NU.

Pengalaman Pasang Surut

Pengalaman kemajuan yang saya rasakan dalam kepemimpinan saya adalah program utama organisasi, yakni “Penguatan Hak-hak Perempuan”. Selain itu, pengembangan jaringan dengan berbagai lembaga dimana Fatayat NU bisa masuk dalam hampir semua usulan perubahan Undang-undang yang berpihak kepada perempuan. Berbagai advokasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan pun, Fatayat NU turut berpartisipasi di dalamnya.

Pengalaman surutnya adalah ketika ide-ide saya banyak ditolak di kalangan pengurus harian. Saya sering merasa “kesepian” dalam organisasi sendiri, karena penolakan yang saya prihatinkan kemudian sering berujung pada konflik diantara sesama pengurus. Pada akhirnya kerja kita di organisasi seringkali mengurusi para pengurus, hampir separo dari periode ini mungkin setiap kali rapat yang muncul adalah klarifikasi dan meluruskan informasi. Barangkali ini adalah kelemahan saya karena tidak bisa mengelola konflik menjadi kekuatan, sehingga kadang-kadang melelahkan sekali.

Biografi Diri.

Saya lahir di Indramayu, 15 Oktober 1960. Latar belakang keluarga saya adalah NU dimana ayah saya pernah menjadi Pandu Anshor dan terakhir sebagai Syuriah NU di Indramayu. Dalam setiap muktamar ayah saya selalu hadir meskipun sebatas penggembira mungkin, karena cintanya sama NU. Pendidikan agama diperoleh di Madrasah Ibtidaiyyah Tulungagung, Kertasemaya, Indramayu, dilanjutkan ke madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) sambil nyantri di Pesantren Darul Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, (1975). Kemudian meneruskan ke Madrasah Aliyah di Pesantren Al-Muayyad, Surakarta (1978) dan pada saat yang bersamaan aktif di Ikatan Pelajar Putri NU, cabang Solo. Setelah itu melanjutkan pendidikan sarjana pada Fakultas Syariah di Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta dan tamat tahun 1986. Pada saat yang bersamaan, saya aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Cabang Jakarta, dan sempat masuk menjadi Pengurus Besar PMII (PBPMII), waktu itu ketua umumnya Surya Dharma Ali. Pendidikan Pascasarjana (S2) di Universitas Indonesia pada Program Studi Kajian Wanita dengan tesis berjudul: “Fiqih Aborsi dari Perspektif Feminis Muslim”. Dengan tesis ini saya memperoleh penghargaan “Saparinah Sadli Award” (2004).

Saya pernah menjadi guru di Madrasah Aliyah al-Mukhlishin, Bogor. Pada saat bersamaan, saya ikut kursus Perpustakaan dan Dokumentasi di Akademi Administrasi Notokusumo Yogyakarta dikirim oleh Lakspesdam NU. Dari kursus tersebut saya direkrut oleh lembaga tersebut sebagai koordinator Perpustakaan dan Dokumentasi NU (1988-1996). Pada tahun 1994 hingga sekarang, dosen di Institut Ilmu al-Quran.

Pengalaman kerja selanjutnya lebih banyak kerja individual, menulis di berbagai media massa, menjadi konsultan, memberikan materi seminar di berbagai forum. Sekarang, selain sebagai Ketua Umum Fatayat NU (periode 2000-2005), saya pun menjadi Sekretaris Eksekutif PUAN Amal Hayati dan staf khusus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Latar belakang kerja saya yang lama di LSM yaitu Lakspesdam NU, ini mempengaruhi pemikiran, pola kerja dan gaya kepemimpinan saya di Fatayat NU. ( Ditulis oleh : Neng Dara Affiah)

Read More......

Thursday, January 28, 2010

PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN PP FATAYAT NU




Sebagian Besar hutan Indonesia memang sudah rusak dan semakin gundul. Hal tersebut mengakibatkan banyak lahan yang kritis yang menyebabkan bencana longsor dan banjir semakin sering terjadi di negeri ini dengan banyak korban nyawa maupun harta. Bahkan ke depan, bencana yang akan dirasakan umat manusia di muka bumi ini akan semakin dahsyat karena ancaman pemanasan global akibat semakin rusaknya lingkungan alam dan menipisnya lapisan ozon.

Dengan kondisi demikian, kita memang harus berbuat sesuatu jika tidak ingin semakin menderita akibat terjangan bencana yang akan semakin dahsyat ini. Salah satunya adalah melakukan reboisasi hutan-hutan yang gundul dan penghijauan lahan-lahan yang sudah kritis, terutama lahan yang berada di daerah aliran sungai (DAS).


Beberapa peristiwa yang dapat kita lihat sebagai akibat dari rusaknya lingkungan alam di beberapa daerah di Indonesia, seperti : (1) Kekeringan di daerah Gunung Kidul misalnya, mungkin saja sudah menjadi fakta jamak yang berlangsung setiap tahun dan sudah sejak puluhan tahun hal itu terjadi. Akan tetapi, kesulitan air yang dialami oleh warga di lereng Gunung Merapi lima tahun terakhir ini misalnya, tentu sebuah fakta baru yang menunjukkan betapa air makin sulit didapat. (2) Kesulitan para petani sayuran di lereng Gunung Merbabu misalnya, juga sesuatu yang masih terdengar asing. Grojogan Sewu memang masih menumpahkan airnya. Tetapi dibandingkan lima belas tahun silam misalnya, grojogan itu sekarang telah berubah menjadi tak lebih dari pancuran. Beberapa puluh tahun yang akan datang, boleh jadi ia tinggal menjadi tetesan saja.

Itu baru dari sisi kelangkaan air. Dari sisi perubahan iklim, semua kota dan wilayah di Indonesia menjadi korbannya. Di Jawa bagian tengah misalnya, Kaliurang di Jogjakarta, Tawangmangu di Karanganyar, atau Bandungan di Semarang, sekarang bukan lagi didatangi wisatawan karena udaranya yang sejuk dan dingin, tetapi karena kelatahan dan cap yang terlanjut melekat sebagai daerah wisata. Itu saja. Dahulu, di daerah-daerah tersebut kabut dingin senantiasa turun setiap pagi sepanjang tahun. Sekarang, ia hanya bisa dijumpai beberapa kali sepanjang tahun, itupun sangat tergantung dari musim.

Di Puncak Jaya, Papua, salju tidak lagi hinggap di puncaknya sejak beberapa tahun silam. Ini menandai era berakhirnya eksistensi satu-satunya kawasan bersalju di Indonesia. Dan ini sekaligus membuktikan, bahwa bumi yang makin panas bukanlah fakta gombal melainkan kenyataan aktual.

Ironisnya, dalam situasi udara yang makin panas, orang lalu mencari cara untuk mendinginkannya, tetapi hanya untuk diri mereka sendiri. Pendingin udara adalah pilihan pragmatis untuk ini, tetapi alat inipun hanya bisa dijangkau oleh lapisan masyarakat golongan menengah ke atas. Masyarakat miskin jelas tak bisa mengelak dari kegerahan.

Ironisnya, penggunaan pendingin udara yang makin masif dan intensif pada sebagian besar rumah tangga di perkotaan secara akumulatif justru mendorong terciptanya bumi yang makin panas akibat gas-gas yang dihasilkan oleh pendingin udara tersebut tidak ramah lingkungan. Sudah begitu, penggunaan pendingin udara yang intensif itu juga memicu meningkatnya kebutuhan listrik yang terus membesar –yang lagi-lagi ironisnya - sementara listrik tersebut diproduksi dengan menggunakan bahan bakar fosil yang tak ramah terhadap lingkungan dan memberi kontribusi terbesar pada pemanasan secara global.

Lingkaran setan ini jelas menggiring masyarakat yang paling miskin dan tak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang memadai menjadi korban. Jumlah masyarakat yang kian tersisih dari lingkaran ini niscaya akan terus membesar karena perseteruan dan kata sepakat tentang upaya kongkrit memerangi perubahan iklim ini mengalami kebuntuan yang akut.

Untuk mengatasi masalah lingkungan tersebut, salah satu program yang dapat dilakukan adalaha PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN, dengan beragam kegiatan yang komprehenshif, antara lain Gerakan Penanaman Sejuta Pohon di Lingkungan dan Kebun Kita. Dalam kegiatan ini diupayakan masyarakat terutama perempuan dan generasi muda, khususnya di lingkungan NU, ikut berpartisipasi, serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat di lingkungannya agar menyadari pentingnya melakukan penghijauan, merawat dan memelihara lingkungan serta memanfaatkan sumberdaya alam dan energi “secukupnya”, tidak berlebihan.

Keberhasilan kegiatan ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, sehingga diperlukan adanya kebijakan yang menjamin dan memfasilitasi peran serta masyarakat dalam gerakan tersebut. Fatayat NU sebagai elemen bangsa dengan struktur kepengerusuhan berada di 32 propinsi dan di sekitar 333 cabang tingkat kabupaten/ kota, 923 anak cabang di tingkat kecamatan dan puluhan ribu ranting di desa merasa terpanggil untuk menjadi penggerak masyarakat di lingkungannya masing-masing. Dengan gerakan tersebut diharapkan masyarakat dapat berperan aktif dalam melestarikan pohon/hutan dan lingkungan sesuai dengan tingkatannya masing-masing.
Read More......